Kita butuh shalat bagi kesehatan jiwa danraga, dan demi nikmat keberuntungan hidup di dunia dan di akhirat.
Mengapa kita butuh perintah Allah untuk shalat?
Bila aku niat mengerjakan sesuatu, tentunya aku harus tahu tentang yang mau aku kerjakan. Ketika aku niat shalat, maka aku harus tahu tentang shalat. Sehingga aku melakukannya tidak sebagai beban, atau sekadar menggugurkan kewajiban tanpa paham kegunaannya dan manfaatnya.
Shalat kulakukan sebagai suatu kebutuhan bagi jiwaku. Sebagaimana aku butuh makan dan minum bagi kesehatan tubuhku. Sebagaimana aku butuh pakaian bagi perlindungan diriku. Sebagaimana aku butuh rumah bagi tempatku berteduh.
Shalat adalah cara terbaik mengingat Allah. Semakin disiplin kukerjakan shalat, semakin kurasakan kehadiran Tuhan dalam hatiku. Bukankah Tuhan menghadirkan diri-Nya melalui hati setelah akal merasa penat membuktikan kekasatan Allah?
Akal ternyata hanya mampu menganalisis kebenaran adanya Allah lewat tanda-tanda Kebesaran Kekuasaan Allah di alam semesta ini. Akal pikiran manusia hanya mampu mengungkapkan kebenaran ciptaan Allah satu per satu sesuai wahyu Tuhanku dalam Kitab Suci Al Quran.
Ribuan tahun setelah Al Quran diwahyukan kepada Nabi Muhammad saw. akal manusia baru tahu bahwa bumi itu ternyata bulat. Tersirat dalam surat ar-Rahman ayat 17 Al Quran: “Tuhan yang memelihara kedua tempat terbit matahari dan Tuhan yang memelihara kedua tempat terbenamnya.”
Seandainya bola bumi datar, maka cuma ada satu tempat terbit dan satu pula tempat terbenam matahari. Karena bumi bulatlah, maka ketika matahari terbit di timur bumi, ia akan menyinari sisi sebelah timur bumi saja dan membuat gelap sisi bumi bagian barat karena terhalang mendapat cahaya matahari. Begitu pun sebaliknya, ketika matahari terbit di barat bumi, ia akan menyinari sisi bagian barat bumi saja dan membuat gelap sisi bumi sebelah timur karena terhalang mendapat cahaya matahari.
Dan firman-Nya, di surat al-Qiyaamah ayat 4 Al Quran: “Sebenarnya Kami kuasa menyusun (kembali) jari jemarinya dengan sempurna,” ternyata berisi pengetahuan dari Allah kepada manusia bahwa sidik jari setiap manusia adalah berbeda. Seminar ilmu pengetahuan modern abad 20 yang membahas “Studi Pelacakan Identitas dan Jejak” menyimpulkan hingga kini sama sekali tidak terdapat persamaan di antara satu sidik jari dengan sidik jari lainnya. Ilmu dari Allah tentang sidik jari itu pun hingga kini dimanfaatkan untuk mengidentifikasi orang, baik bagi kepentingan pendataan maupun mencari pelaku kejahatan.
Sungguh mampukah kita melihat Allah?
Sulit mata kita menatap sosok Allah. Ingatlah kisah Nabi Musa, yang juga tak mampu langsung melihat secara sempurna sosok Tuhannya. Sebagaimana dikisahkan Al Quran surat Al Araf ayat 143: “Dan tatkala Musa datang untuk (munajat dengan Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan dan Tuhan telah berfirman (langsung) kepadanya, berkatalah Musa: ‘Ya Tuhanku, nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat kepada Engkau’.
Tuhan berfirman: ‘Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku, tapi lihatlah ke bukit itu, maka jika ia tetap di tempatnya (sebagai sediakala) niscaya kamu dapat melihat-Ku’.
Tatkala Tuhannya menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan. Maka setelah Musa sadar kembali, dia berkata: ‘Maha Suci Engkau, aku bertobat kepada Engkau dan aku orang yang pertama-tama beriman’.”
Jadi, sekali lagi, sulit bagi akal menemukan bukti bahwa Allah itu ada secara kasat mata. Ia Maha Halus dan Lembut, Ya Allah ya Lathiif. Ia tidak terlihat tetapi Ia Maha Melihat, Ya Allah ya Bashiir.
Kesempurnaan akal ada batasnya. Maka, fungsikanlah hati. Jawaban terhadap rasa penasaran itu hanya mampu dijawab oleh hati. Hanya batin kita yang sanggup merasakan kehadiran Ya Allah ya Baathin.
Tapi hati pun ada batasan kesempurnaannya. Seperti juga akal, hati juga harus diberi informasi. Informasi itu adalah petunjuk atau hidayah agama-Nya, agama tauhid. Sehingga akal bisa membuktikan kehadiran Tuhan dan bukti-bukti kekuasaan-Nya secara lahir dan batin sesuai firman Tuhan dalam Al Quran.
Hidayah agama Allah itu adalah agama tauhid yang sempurna yakni Islam. Sebagaimana diwahyukan Tuhanku kepada Nabiku dalam surat Al Maidah ayat 3 Al Quran: “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridai Islam itu jadi agama bagimu.”
Benarkah ajaran Islam Muhammad saw. untuk semua manusia?
Nabiku, Muhammad saw., penutup para nabi Allah, yang menyampaikan wahyu Allah dan jiwa Islam kepada seluruh umat manusia tanpa membedakan warna kulit, tanpa membedakan jenis rambut, tanpa membedakan suku, tanpa membedakan ras, tanpa membedakan keturunan dan kekayaan, bahkan tanpa membedakan keyakinan dan kepercayaan yang sedang dipeluknya, menjelaskan soal hidayah agama Islam seperti dipaparkan oleh Abu Musa dalam kitab hadis riwayat Bukhari dan Muslim (1312): “Nabi Muhammad saw. bersabda: Perumpamaan Allah Yang Maha Mulia lagi Maha Agung dalam mengutusku untuk menyampaikan petunjuk dan ilmu adalah seperti hujan yang membasahi bumi. Sebagian tanah bumi tersebut ada yang subur sehingga dapat menyerap air serta menumbuhkan rerumputan. Dan sebagian lagi berupa tanah-tanah tandus yang tidak dapat menyerap air.
Lalu Allah memberikan manfaatnya kepada manusia sehingga mereka dapat meminum darinya, memberi minum dan menggembalakan ternaknya di tempat itu. Yang lain menimpa tanah datar yang gundul yang tidak dapat menyerap air dan menumbuhkan rumput.
Itulah perumpamaan orang yang mendalami ilmu agama Allah dan memanfaatkannya sesuai ajaran yang Allah utus kepadaku di mana dia tahu dan mau mengajarkannya. Dan juga perumpamaan orang yang keras kepala yang tidak mau menerima petunjuk Allah yang karenanya aku diutus.”
Ilmu ketauhidan yang sempurna: Islam-- yang diajarkan Nabi Muhammad saw. kepada semua manusia bak rahmat Allah berupa hujan. Hujan yang memberikan kesegaran kehidupan. Wahyu Allah swt. yang dibawa Ruhul Kudus: Malaikat Jibril-- dan disampaikan kepada Nabi Muhammad saw. bak angin yang memberi kabar gembira bakal datangnya rahmat,
Ingatlah firman-Nya, dicatat dalam Kitab Al Quran surat Al Araf ayat 57-58: Dan Dialah yang meniupkan angin sebagai pembawa berita gembira sebelum kedatangan rahmat-Nya (hujan); hingga apabila angin itu telah membawa awan mendung, Kami halau ke suatu daerah yang tandus, lalu Kami turunkan hujan di daerah itu, maka Kami keluarkan dengan sebab hujan itu pelbagai macam buah-buahan. Seperti itulah Kami membangkitkan orang-orang yang telah mati, mudah-mudahan kamu mengambil pelajaran.
Dan tanah yang baik, tanaman-tanamannya tumbuh subur dengan seizin Allah; dan tanah yang tidak subur, tanaman-tanamannya hanya tumbuh merana. Demikianlah Kami mengulangi tanda-tanda kebesaran (Kami) bagi orang-orang yang bersyukur.
Benarkah shalatku memutuskan hubunganku dengan kesyirikan dan kekafiran?
Benar, karena Nabi Muhammad saw. menyampaikannya begitu. Dan sebagai tanda bersyukur atas rahmat Islam-Nya, kutanam dalam sanubariku, apa yang dikatakan Nabiku, Nabi Muhammad saw., yang diriwayatkan Jabir dalam Kitab Shahih Muslim (63): “Rasulullah saw. bersabda: Sesungguhnya tali penghubung antara seseorang dengan syirik dan kafir, ialah meninggalkan shalat.”
Maka, dengan shalatku, aku memutuskan tali penghubung kepada dosa syirik (menyekutukan-Nya) dan kafir (tak mempercayai-Nya).
Sehingga, semakin kurasakan kehadiran Tuhan dalam kreativitas berpikirku. Semakin terwarnai hidup dan kehidupanku dengan wahyu-Nya (Al Quran) dan ketauladanan Nabi-Nya (Al Hadis).
Sehingga, aku bisa, dan insya Allah, dimampukan menikmati hidup di dunia ini dan menikmatinya juga kelak di alam akhirat berbekal keridaan-Nya, Ya Allah ya Maajid, Allah Yang Maha Mulia Pemberian-Nya.(Dana Anwari)
Jadikan setiap perjanjian bisnis tidak mengkhianati perjanjian kita dengan
Allah
-
By Dana Anwari. Ketika masih berupa roh, manusia telah berjanji kepada
Tuhannya. Ia akan melaksanakan fitrah kemanusiaannya untuk menyungkur
bersujud menye...
No comments:
Post a Comment